Wajah Wayan Lastri pias. Matanya memancarkan ketakutan. Di pangkuannya
ada bocah balita. Sesekali ia mengusap kening si bocah. Matanya tak bisa
tenang, menoleh ke kiri dan kanan. “Saya tidak tahu mengapa kita
dikumpulkan di sini, katanya mau diungsikan,” ujarnya cemas. Bibirnya
gemetar.
Tak begitu jauh dari Wayan, ada Ketut Saebang, dan sang
istri. Pasangan itu tak berhenti menangis. Bayi mereka masih berumur
tujuh belas hari membiru. Ia belum diberi nama. Matanya kuyu, dan
mulutnya terus membuka. “Sudah dua hari kami menginap di kebun,
kehujanan dan kedinginan. Rumah kami dibakar,” ujar Agung terisak.
Mujur,
di hari itu ada petugas medis tiba. Selang oksigen dicolok ke hidung
bayi mungil, sebelum dibawa menuju Rumah Sakit Umum Abdul Muluk Bandar
Lampung. Menyusul mobil polisi, dan sejumlah bus. Wayan, Ketut, dan
ribuan warga yang dicekam ketakutan pun berkemas. Dengan modal bungkusan
berisi baju, mereka berebut masuk ke kendaraan itu.
Wayan
Lastri, dan ribuan warga Balinuraga lain itu adalah korban bentrokan dua
desa di Lampung Selatan, Desa Agom, Kecamatan Kalianda dan Desa
Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan.
Desa mereka
dibakar massa, pada bentrokan Senin 29 Oktober 2012. Kini warga
Balinuraga mengungsi ke perkebunan yang letaknya cukup jauh dari desa
malang itu. Ribuan warga Desa Balinuraga, yang rumahnya luluh lantak
terpaksa diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling Polda
Lampung, di Bandar Lampung. Sekitar 300 KK dengan jumlah 1000 jiwa lebih
di tempatkan di tiga gedung di markas pendidikan polisi tersebut.
Mereka
tidur seadanya di atas tikar dan terpal plastik. Kaum renta, dewasa,
anak-anak, balita. Laki-laki dan perempuan. “Kami sangat sedih melihat
rumah kami hancur. Tinggal di pengungsian adalah pilihan terbaik, meski
kondisinya memprihatinkan,” ungkap I Nyoman Sude saat ditemui
VIVAnews di pengungsian.
Gara-gara motor jatuhBentrokan
itu diawali oleh hal sepele. Selepas magrib, pada Sabtu, 27 Oktober
2012 lalu, Emilia Elisa dan Nurdiana naik motor berboncengan melintas di
desa Balinuraga. Kedua gadis Desa Agom itu hendak pulang setelah
berbelanja bersama teman-temannya. Di tengah jalan, motor mereka
menabrak sepeda yang dinaiki dua pemuda dari Desa Balinuraga.
Emilia
dan Nurdiana terjatuh. “Kondisi sudah agak gelap, tiba-tiba ada sepeda
di tengah jalan, saya tidak sempat ngerem dan kami bertabrakan. Saya
jatuh dan tangan saya lecet,” tutur Nurdiana. “Saya berteriak minta
tolong, namun tidak ada orang yang membantu. Dua orang yang naik sepeda
itu lalu mendekati kami. Kami ditanya-tanya. Lalu kami dibantu
diangkat,” ujarnya.
Menurut Emilia, ia juga dibantu, tapi ia
merasa agak risih. “Pas saya dibantu diangkat, tangan orang yang
membantu saya itu seperti mencolek-colek paha saya. Saya juga tidak tahu
berapa orang membantu karena saat itu gelap,” cerita Emilia. Keduanya
lalu dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Kalianda, Lampung Selatan.
Rupanya
kejadian itu berbuntut. Orang tua kedua gadis tidak terima. Mereka
merasa anaknya mengalami pelecehan. Puluhan warga desa Agom lalu
berkumpul hendak meminta pertanggungjawaban dari para pemuda yang mereka
duga berasal dari Desa Balinuraga.
Kondisi yang sempat memanas
ini bisa diredam, setelah kedua kepala desa bertemu. “Saya juga ikut
dalam pertemuan itu. Kedua pihak sudah menyatakan damai setelah
mendengar penjelasan dua pihak,” tutur Ketua Parisade Hindu Dharma
Indonesia (PHDI) Lampung Selatan, Made Sukintre.
Namun, kabar
pelecehan itu keburu menyebar. Sekitar 500 warga desa Agom tetap tidak
terima, dan menuntut tanggung jawab keluarga si pemuda desa seberang.
Menjelang tengah malam, mereka berarak menuju Desa Balinuraga.
Tapi,
kata seorang warga Agom yang ikut arakan rombongan itu, mereka
ternyata sudah 'disambut' saat masuk ke Balinuraga. "Kami sempat
bentrok. Lalu terdengar suara tembakan, mungkin dari senjata api
rakitan,”kata dia.
Setelah huru hara mereda, mereka baru tahu
kalau satu warga Desa Agom, Marhadan, tertembak. Lekaki malang itu
meninggal di tempat. Warga Desa Agom pun mundur, mereka merasa kalah
jumlah.
Esoknya, ribuan orang kembali berkumpul di Simpang Way
Arong, Kalianda. Bukan hanya warga Desa Agom, namun juga desa-desa
tetangga. Setiap orang menenteng senjata. Ada bambu runcing, golok,
badik, samurai, tombak, hingga senapan api. “Hutang nyawa harus dibayar
nyawa” teriak seseorang dari kerumunan sambil mengacungkan parangnya ke
udara.
Hari itu, Minggu 28 Oktober 2012, sekitar pukul 10 pagi mereka bertekad menyerang Desa Balinuraga.
Di
perbatasan desa, bentrokan kembali pecah. Sejumlah rumah dibakar, dua
orang tewas. Kebanyakan luka bacok dan tertembak. Aparat keamanan dari
polisi dan marinir yang berjaga tidak bisa bertindak banyak.
Perkelahian
berdarah berlanjut hingga Senin 29 Oktober. Sekitar 10 ribu orang,
entah berasal dari wilayah mana, berkumpul di Pasar Patok, yang letaknya
persis di tengah kedua desa. Mereka lalu menuju Desa Balinuraga. Massa
berniat membantu warga Desa Agom untuk menyerang kembali Desa
Balinuraga.
Aparat keamanan tidak tinggal diam. Lebih dari 1.000
aparat dari Polda Lampung dan TNI AD serta AL Lampung mencoba menghalau
dengan membuat barikade di pintu masuk kedua desa. Puluhan ribu orang
yang kalap, mereka melempari barikade.
Kondisi makin panas.
Gagal menembus tiga lapis barikade, massa mencari jalan alternatif.
Mereka menyeberangi sungai, melewati kebun jagung, persawahan, hingga
kebun karet. Satu jam sekitar 10 ribu massa berjalan kaki menuju Desa
Balinuraga dengan memutar jalan.
Desa Balinuraga pun tertembus.
Bentrokan di areal persawahan tak bisa dihindari. Rupanya, sekitar 3000
warga Balinuraga itu kalah jumlah, mereka pun terpukul mundur. Nahas,
beberapa orang terjebak. Dengan brutal mereka dihajar sampai tewas.
Mayatnya penuh luka bacokan. Ada juga yang dibakar. Seorang korban
kakinya dipotong, dan seorang lagi kepalanya dipenggal.
Puas
melampiaskan amarahnya, massa kembali pulang. Mereka meninggalkan 12
orang tewas, puluhan orang luka-luka, 300 rumah lebih dibakar, mobil dan
motor hangus, sekolah dan fasilitas umum rusak. Juga trauma dan
ketakutan mendalam.
“Peristiwa ini adalah konflik akumulatif,” ujar seorang sosiolog dari Universitas Lampung, Hartoyo, kepada
VIVAnews, Jumat 2 November. Dia mencatat sedikitnya sudah terjadi lebih dari lima peristiwa serupa di Lampung Selatan sejak 1990-an.
Tapi
bentrokan tak hanya terjadi pada dua etnis itu saja. Menurutnya,
peristiwa bentrokan itu menjadi masif karena kejadian ini sudah
menyangkut nilai-nilai dasar masyarakat. “Jadi, jika ada sedikit saja
isu, akan mudah menjadi pemicu konflik, namun harusnya jangan sampai
anarkis,” ujarnya.
Apa yang terjadi di Lampung cukup membuat
siapa pun terheyak. Begitu mudah warga tersulut, lalu menjadi buas dan
brutal. Bentrokan massal tidak hanya terjadi di Lampung. Di sejumlah
daerah lain, masyarakat tampaknya mudah dibakar angkara murka.
Pemicunya pun soal sepele.