Oleh: Nur Cholish
Madjid
(Dengan editing
seperlunya)
Agama merupakan
suatu cara manusia menemukan makna hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya.
Tapi, hidup kita lingkungan abad modern ini, untuk kebanyakan orang, termasuk
para pemeluk agama sendiri, semakin sulit diterangkan maknanya. Kesulitan itu terutama ditimbulkan
oleh masalah-masalah yang muncul akibat dinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi, ciri utama abad modern yang secara tak terbendung mengubah bentuk
dan jaringan masyarakat secara lembaga-lembaganya. Pada abad modern, nilai
berganti dengan cepat, demikian pula cara hidup, dan memisahkan manusia semakin
jauh dari kepastian moral dan etis tradisional mereka. Inilah tantangan yang
dihadapi agama-agama.
Untuk sampai
pada segi operasional agama dalam tindakan nyata manusia, yang menjadi tekanan
dalam pembicaraan ini, kita harus mempertimbangkan aspek “dramatis” kehidupan
manusia, yang meliputi aspek keagamaan itu sendiri, kekuasaan, kekeluargaan,
dan kekayaan. Dalam konteks-konteks inilah, seseorang mendefinisikan dirinnya
dalam hubungannya dengan orang lain, lalu menerima atau menolak nilai
kewenangan, dan menentukan pilihan akan apa yang hendak dilakukan atau tidak,
untuk memberi makna kepada hidup ini.
Tanggung Jawab Pribadi
Perubahan
mendalam yang dihadapi umat manusia dalam memasuki abad ke-21 ini, dari satu
segi, merupakan kelanjutan seluruh proses modernisasi dunia. Proses itu, yang
berlangsung berkaitan dengan konteks dramatis kehidupan manusia tadi,
melibatkan pandangan perseorangan yang relatif otonom, dengan kemampuan besar
untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan situasi baru dan inovasi. Pribadi
seperti itu mempunyai tingkat kesadaran yang relatif tinggi, dan menuntut
struktur kekeluargaan, yang di dalamnya kebebasan dan harkat pribadinya akan
diakui, dan di dalamnya ia dapat menemukan keterkaitan dengan orang lain, tidak
dalam rangka kewenangan dan ketaatan
semata, tetapi dalam rangka perkawanan dan partisipasi hangat. Pribadi serupa
itu juga menuntut suatu masyarakat yang ada di dalamnya ia merasa bisa
berpartisipasi penuh, yang tujuan-tujuan masyarakat itu dapat ia dukung, dan
dapat menyumbang untuk mencapainya. Dan akhirnya pribadi itu memerlukan suatu
pandangan dunia (weltanschauung) yang terbuka untuk masa depan.
Melihat berbagai
bentuk kehidupan kegamaan yang kita kenal sekarang, barangkali dibenarkan
membuat generalisasi, bahwa semua agama mengajarkan tanggung jawab. Agama
Islam, misalnya mengajarkan dengan sangat kuat tanggung jawab pribadi di
hadapan Pengadilan Tuhan di Hari Kemudian. Selanjutnya, tanggung jawab pribadi
itu, membawa akibat adanya tanggung jawab sosial, karena setiap perbuatan
pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan adalah sekaligus, dan
tidak bisa tidak, perbuatan yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan sesama
manusia. Dengan menggunakan istilah kegamaan Islam yang lebih khusus, iman yang
pribadi itu membawa akibat adanya amal saleh yang memasyarakat. Sebab,
kebenaran bukanlah semata-mata persoalan kognitif; kebenaran harus mewujudkan
diri dalam tindakan. Dari sini memancar berbagai implikasi keagamaan dan
kemasyarakatan yang harus diperankan oleh agama dalam kehidupan manusia,
termasuk dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan mereka pada abad modern ini.
Kerja Sama Kemanusiaan
Disebabkan
tanggung jawab itu, yang harus dilakukan dengan senantiasa berpijak pada
prinsip persamaan, mansuia diseru untuk senantiasa menggalang kerjasama atas
dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan. Untuk itu, manusia didorong
agar senantiasa mencari titik-titik persamaan sebanyak mungkin antara berbagai
komunitasnya. Dan sepanjang mengenai Islam, titik persamaan yang terpenting
ialah kesadaran ketuhanan dan rasa tanggung jawab di hadapan Tuhan.
Kerjasama
kemanusiaan, pada gilirannya, dan sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
menghendaki kebebasan suatu kelompok dari klaim kebenaran mutlak. Setiap
komunitas senantiasa mempunyai potensi untuk memiliki suatu jenis kebenaran,
karena “tidak satupun komunitas manusia telah lewat dalam sejarah, kecuali
pasti pernah datnag kepadanya pengajar kebenaran”. Jadi tidak ada hak istimewa
yang eksklusif dari suatu komunitas untuk memiliki secara sendirian kebenaran
itu. Tuhan adalah tunggal, kebenaran pun tunggal, dan kemanusiaan juga tunggal
adanya. Itu semua secara tak terhindarkan mengharuskan adanya kerja sama antar
manusia “atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan, dan bukan atas
dosa dan rasa permusuhan”. Itulah inti pandangan hidup yang terbuka bagi masa
depan, salah satu yang diperlukan manusia dalam menghadapi tantangan abad
modern.
Tidak seluruh
persoalan hidup manusia bisa dipahami manusia. Seperti halnya dengan jagat
raya, peri hidup manusia adalah pagelaran ilmu, kodrat, dan iradat Tuhan.
Sekarang, ilmu Tuhan itu tak mungkin terjangkau manusia, kecuali sedikit yang
dikehendaki Tuhan sendiri. Bahkan, seandainya seluruh lautan menjadi tinta,
untuk menuliskan ilmu Tuhan, lautan itu akan habis sebelum ilmu Tuhan habis,
malah sekalipun masih ditambah dengan lautan seluas itu lagi.
Seperti yang
kita tahu manusia tidak mungkin mengetahui diri dan hakikat Tuhan, namun Tuhan
dapat didekati melalui ibadah yang tulus kepada-Nya dan kegiatan kemanusiaan,
serta diinsafi secara mendalam akan kehadiran-Nya. Tuhan juga memerintahkan
manusia untuk bergiat memahami alam, sebatas yang mungkin. Karena itu, manusia
harus aktif berilmu dan beramal, dalam rangka kekhalifahan (menjadi wali
pengganti Tuhan di bumi). Dengan pengetahuan akan hidupnya sendiri dan
lingkungannya yang terus berkembang, daerah msiteri akan menciut, mekipun tak
mungkin habis (sebab, habisnya misteri akan sama artinya dengan terketahuinya
dan terkauasainya Tuhan).
Jadi,
sebagaimana ilmu dan teknologi, yang menjadi inti kemodern harus bersedia
dihadapkan kepada ujian pertimbangan moral dan etis, karena harus
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Agama pun jika ingin bertahan, dalam
batas-batas tertentun harus bersedia dihadapkan pada pengujian oleh ilmu
pengetahuan. Agam ialah suprarasional. Namun, sesuatu yang suprarasional tidak
berarti dibenarkan “bertentangan” dengan rasio, tapi ia hanya berada pada
tingkat yang lebih tinggi (analog tentang itu ialah bahwa rasio adalah
supraindra, tetapi yang rasional tidak berarti bertentangan dengan yang
indrawi, hanya lebih tinggi tingkatnya).