Peterpan - Semua Tentang Kita by Umar At-Tipari

Minggu, 09 November 2014

JADILAH SEPERTI TINTA



“Kontribusimu lebih penting daripada posisimu.”

Oleh Waidi

Setetes tinta biru menetes di atas segelas air jernih; apa yang segera terjadi? Setetes tinta biru tadi segera menyebar sehingga secara perlahan dan pasti mewarnai air itu menjadi biru. Katakanlah tinta biru itu adalah sebuah energy positif , maka air jernih itu tidak menjadi keruh tetapi menjadi indah dilihat dan menyejukkan, seperti air laut.
Seandainya saja diri kita adalah seorang yang berenergi positif bagi lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja, setiap aktivitas kita sekecil apa pun  akan mampu memberi warna dan energi baru. Orang-orang di sekitar kita akan dapat merasakan dampak positif dari setiap aktivitas dan tutur kata kita. Kedatangan kita selalu memberi energi baru, memotivasi, mencerahkan dan memberi solusi.kedatangan kita selalu dinantikan.
Seperti setetes tinta yang mewarnai segelas air, satu kalimat positif yang Anda ucapkan dapat mendorong orang lain lebih berdaya. Selangkah aktivitas positif Anda dapat menolong orang lain. Manakala apa yang Anda katakan atau lakukan itu ternyata menolong orang lain dan mereka merasakannya hingga bisa memberdayakan diri, inilah buah hasil kerja Anda. Sebuah hasil yang sejak semula diawali dengan niat ibadah , diawali dengan bacaan basmalah, insya Allah akan menjadi pahala.
Memberdayakan diri dan orang lain tidak harus dengan proyek besar yang mahal biayanya, tetapi cukup dengan ‘setetes’ aktivitas positif untuk diri sendiri dan orang lain. Kontribusimu lebih penting daripada posisimu.

Selasa, 30 September 2014

Tantangan Umat Beragama Pada Abad Modern

                                                       Oleh: Nur Cholish Madjid
                                                       (Dengan editing seperlunya)
 
Agama merupakan suatu cara manusia menemukan makna hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya. Tapi, hidup kita lingkungan abad modern ini, untuk kebanyakan orang, termasuk para pemeluk agama sendiri, semakin sulit diterangkan  maknanya. Kesulitan itu terutama ditimbulkan oleh masalah-masalah yang muncul akibat dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, ciri utama abad modern yang secara tak terbendung mengubah bentuk dan jaringan masyarakat secara lembaga-lembaganya. Pada abad modern, nilai berganti dengan cepat, demikian pula cara hidup, dan memisahkan manusia semakin jauh dari kepastian moral dan etis tradisional mereka. Inilah tantangan yang dihadapi agama-agama.
Untuk sampai pada segi operasional agama dalam tindakan nyata manusia, yang menjadi tekanan dalam pembicaraan ini, kita harus mempertimbangkan aspek “dramatis” kehidupan manusia, yang meliputi aspek keagamaan itu sendiri, kekuasaan, kekeluargaan, dan kekayaan. Dalam konteks-konteks inilah, seseorang mendefinisikan dirinnya dalam hubungannya dengan orang lain, lalu menerima atau menolak nilai kewenangan, dan menentukan pilihan akan apa yang hendak dilakukan atau tidak, untuk memberi makna kepada hidup ini.  

Tanggung Jawab Pribadi
Perubahan mendalam yang dihadapi umat manusia dalam memasuki abad ke-21 ini, dari satu segi, merupakan kelanjutan seluruh proses modernisasi dunia. Proses itu, yang berlangsung berkaitan dengan konteks dramatis kehidupan manusia tadi, melibatkan pandangan perseorangan yang relatif otonom, dengan kemampuan besar untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan situasi baru dan inovasi. Pribadi seperti itu mempunyai tingkat kesadaran yang relatif tinggi, dan menuntut struktur kekeluargaan, yang di dalamnya kebebasan dan harkat pribadinya akan diakui, dan di dalamnya ia dapat menemukan keterkaitan dengan orang lain, tidak dalam rangka kewenangan  dan ketaatan semata, tetapi dalam rangka perkawanan dan partisipasi hangat. Pribadi serupa itu juga menuntut suatu masyarakat yang ada di dalamnya ia merasa bisa berpartisipasi penuh, yang tujuan-tujuan masyarakat itu dapat ia dukung, dan dapat menyumbang untuk mencapainya. Dan akhirnya pribadi itu memerlukan suatu pandangan dunia (weltanschauung) yang terbuka untuk masa depan.
Melihat berbagai bentuk kehidupan kegamaan yang kita kenal sekarang, barangkali dibenarkan membuat generalisasi, bahwa semua agama mengajarkan tanggung jawab. Agama Islam, misalnya mengajarkan dengan sangat kuat tanggung jawab pribadi di hadapan Pengadilan Tuhan di Hari Kemudian. Selanjutnya, tanggung jawab pribadi itu, membawa akibat adanya tanggung jawab sosial, karena setiap perbuatan pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan adalah sekaligus, dan tidak bisa tidak, perbuatan yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan sesama manusia. Dengan menggunakan istilah kegamaan Islam yang lebih khusus, iman yang pribadi itu membawa akibat adanya amal saleh yang memasyarakat. Sebab, kebenaran bukanlah semata-mata persoalan kognitif; kebenaran harus mewujudkan diri dalam tindakan. Dari sini memancar berbagai implikasi keagamaan dan kemasyarakatan yang harus diperankan oleh agama dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan mereka pada abad modern ini.

Kerja Sama Kemanusiaan    
Disebabkan tanggung jawab itu, yang harus dilakukan dengan senantiasa berpijak pada prinsip persamaan, mansuia diseru untuk senantiasa menggalang kerjasama atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan. Untuk itu, manusia didorong agar senantiasa mencari titik-titik persamaan sebanyak mungkin antara berbagai komunitasnya. Dan sepanjang mengenai Islam, titik persamaan yang terpenting ialah kesadaran ketuhanan dan rasa tanggung jawab di hadapan Tuhan.
Kerjasama kemanusiaan, pada gilirannya, dan sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menghendaki kebebasan suatu kelompok dari klaim kebenaran mutlak. Setiap komunitas senantiasa mempunyai potensi untuk memiliki suatu jenis kebenaran, karena “tidak satupun komunitas manusia telah lewat dalam sejarah, kecuali pasti pernah datnag kepadanya pengajar kebenaran”. Jadi tidak ada hak istimewa yang eksklusif dari suatu komunitas untuk memiliki secara sendirian kebenaran itu. Tuhan adalah tunggal, kebenaran pun tunggal, dan kemanusiaan juga tunggal adanya. Itu semua secara tak terhindarkan mengharuskan adanya kerja sama antar manusia “atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan, dan bukan atas dosa dan rasa permusuhan”. Itulah inti pandangan hidup yang terbuka bagi masa depan, salah satu yang diperlukan manusia dalam menghadapi tantangan abad modern.
Tidak seluruh persoalan hidup manusia bisa dipahami manusia. Seperti halnya dengan jagat raya, peri hidup manusia adalah pagelaran ilmu, kodrat, dan iradat Tuhan. Sekarang, ilmu Tuhan itu tak mungkin terjangkau manusia, kecuali sedikit yang dikehendaki Tuhan sendiri. Bahkan, seandainya seluruh lautan menjadi tinta, untuk menuliskan ilmu Tuhan, lautan itu akan habis sebelum ilmu Tuhan habis, malah sekalipun masih ditambah dengan lautan seluas itu lagi.
Seperti yang kita tahu manusia tidak mungkin mengetahui diri dan hakikat Tuhan, namun Tuhan dapat didekati melalui ibadah yang tulus kepada-Nya dan kegiatan kemanusiaan, serta diinsafi secara mendalam akan kehadiran-Nya. Tuhan juga memerintahkan manusia untuk bergiat memahami alam, sebatas yang mungkin. Karena itu, manusia harus aktif berilmu dan beramal, dalam rangka kekhalifahan (menjadi wali pengganti Tuhan di bumi). Dengan pengetahuan akan hidupnya sendiri dan lingkungannya yang terus berkembang, daerah msiteri akan menciut, mekipun tak mungkin habis (sebab, habisnya misteri akan sama artinya dengan terketahuinya dan terkauasainya Tuhan).
Jadi, sebagaimana ilmu dan teknologi, yang menjadi inti kemodern harus bersedia dihadapkan kepada ujian pertimbangan moral dan etis, karena harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Agama pun jika ingin bertahan, dalam batas-batas tertentun harus bersedia dihadapkan pada pengujian oleh ilmu pengetahuan. Agam ialah suprarasional. Namun, sesuatu yang suprarasional tidak berarti dibenarkan “bertentangan” dengan rasio, tapi ia hanya berada pada tingkat yang lebih tinggi (analog tentang itu ialah bahwa rasio adalah supraindra, tetapi yang rasional tidak berarti bertentangan dengan yang indrawi, hanya lebih tinggi tingkatnya).

Senin, 16 Juni 2014

CUPLIKAN DARI WIRID IBN ‘ARABI’


Dikutip dari Jurnal Dialog Peradaban ‘Titik-Temu’

Wahai Tuhanku, berilah daku kalbu untuk setia pada-Mu
dengan penuh kefakiran, yang didorong oleh kerinduan
dan digerakkan oleh hasrat kuat, yang bekalnya adalah rasa takut [pada-Mu]
dan sahabatnya adalah kegelisahan,
tujuannya adalah kedekatan dan penerimaan-Mu!
Pada Engkaulah dekat orang-orang yang bermaksud
dan terpenuhi keinginan tertinggi orang-orang yang mencari.

Wahai Tuhanku, anugerahilah daku ketenteraman dan ketenangan hati.
Jauhkanlah daku dari sifat membesarkan diri dan kecongkakan.
Tempatkanlah daku pada makam untuk diterima sebagai wakil-Mu
dan terimalah perkataanku dengan jawaban baik.

Wahai Tuhanku, dekatkanlah daku pada-Mu seperti kedekatan para arif.
Sucikanlah daku dari ikatan-ikatan natur.
Hapuskanlah dari kalbuku gumpalan darah-beku celaan,
agar aku menjadi salah seorang di antara orang-orang yang suci.

Semoga Allah melimpahkan berkah pada penghulu kita Muhammad
Dan semua keluarganya dan semua sahabatnya.
Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta

Jumat, 13 Juni 2014

Konsep Pendidikan Inklusi (Pendidikan Tanpa Diskriminasi)



                                                                   Oleh Novy Eko Permono

Tidak bisa dipungkiri, bahwa pendidikan merupakan bagian dari hidup kita. Sejak zaman perjuangan hingga sekarang, pendidikan memiliki tempat tersendiri bagi bangsa ini. Seperti yang diungkapkan oleh Mulyasa bahwa  pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian. Masyarakat bangsa yang demikian merupakan investasi besar untuk berjuang ke luar dari krisis dan menghadapi dunia global.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai sosok bangsa sangat pluralisme yang memiliki berbagai nuansa kemajemukan yang mewujudkan dalam kelompok-kelompok etnis dengan kekhasan latar belakang bahasa daerah, tradisi, adat istiadat, seni, budaya, dan agama masing-masing. Walaupun demikian, bangsa Indonesia secara keseluruhan tetap merasa sebagai suatu bangsa kerena disatukan oleh berbagai bentuk kepahitan dan kegetiran pengalaman sejarah yang sama dalam perjuangan menentang kolonialisme. Simbol kebangsaan ini secara jelas diekspresikan oleh para pendiri republik ini dalam suatu motto yang terkenal “Bhineka Tunggal Ika” yang mengakui adanya unitas dalam divertas atau divertas dalam unitas, dalam spektrum dinamika kehidupan kebangsaan yang di dalamnya juga menyangkut aspek dunia pendidikan.
Kehadiran konsep pendidikan inklusi seolah menjadi jawaban atas segala persoalan yang membelit anak berkebutuhan khusus karena kurang mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak karena keterbatasan fisik maupun mental. Penafsiran pendidikan inklusi sesungguhnya cukup beragam sesuai dengan sudut pandang pengkaji dalam menguraikan makna substansial dari pendidikan inklusi itu sendiri. Keberagaman penafsiran tersebut secara tidak langsung telah menjadi cermin dari keterbukaan pendidikan bagi semua kalangan tanpa terkecuali, baik karena perbedaan latar belakang kehidupan maupun perbedaan fisik yang tidak normal. Dalam penyelenggaraannya, pendidikan inklusi memerlukan perhatian yang lebih dibandingkan pendidikan umum lainnya, hal tersebut terkait dengan proses mengajar, kompetensi guru, serta pengelolaan materi siswa inklusi. Namun dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa masalah terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi. Pertama, proses pembelajaran. Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya  termasuk di dalamnya pendidik sehingga terjadi perubahan perilaku yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor  yang mempengaruhinya, baik faktor internal maupun eksternal. Tetapi dalam observasi awal yang dilakukan oleh penulis, proses pembelajaran inklusi yang dilakukan oleh pendidik belum mampu mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku peserta didik. Seharusnya pembelajaran inklusi menggunakan pendekatan individu dan memberikan pelayanan yang ramah.
Kedua, tenaga pendidik (guru). Tenaga pendidik atau guru yang mengajar pada sekolah inklusi hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan di ajarkan, serta memahami karakteristik siswa inklusi. Namun berdasarkan observasi awal yang penulis lakukan, terdapat beberapa tenaga pendidik yang memiliki keterampilan dalam mengajar di kelas inklusi yang tergolong rendah.  Guru pada sekolah penyelenggara inklusi seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesionalisme. Dengan kompetensi yang dimiliki, guru dapat merancang strategi pembelajaran yang tepat, media, juga evaluasi.
Ketiga, materi atau bahan ajar. Untuk mencapai tujuan mengajar yang ditentukan, diperlukan bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-topik dan sub-sub topik tertentu yang mengandung ide pokok yang relevan dengan tujuan yang ditetapkan. Materi ajar pada sekolah penyelenggara inklusi seharusnya disesuai dengan tingkat intelegensi siswa-siswinya. Anak berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di bawah normal (tunagrahita), materi dalam kurikulumya dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitan seperlunya atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.

Minggu, 08 Juni 2014

Jalan yang Kita Lewati



Seorang guru besar, Ibnu Taimiyah, pernah menasehati: "Seorang yang arif, selalu berjalan menuju satu arah, yaitu berjalan menuju Allah. Dan perjalanan itu selalu memiliki dua kondisi: (1) menyaksikan anugerah yang dicurahkan Allah kepadanya; (2) selalu melihat cacat pada diri dan amalnya."

Hafalkan kalimat ini; lantas pejamkan mata, ulangi berkali-kali.
Maka, my dear anggota page, itulah jalan yang kita lewati dalam kehidupan. Hakikat sebuah penghambaan. Dan, hei, aduh, bukankah kita ini sungguh hamba saja? Bahkan diri kita sendiri bukan milik kita. Coba saja lihat foto2 orang meninggal, atau saksikan langsung orang2 yang meninggal, jasadnya terbujur kaku. Tidak bergerak. Putus urusannya di dunia, dan dia tidak memiliki apapun lagi; termasuk jasadnya sendiri. Bahkan saat kita masih hidup sekalipun, apakah kita bisa mengatur2 jantung berdetak? Tidak bisa. See, jantung milik kita sendiri saja tidak bisa kita atur. Milik siapa itu jantung?

Dengan menyaksikan anugerah yang dicurahkan Allah kepada kita, semoga tumbuh mekar perasaan cinta kepada Allah. Muncul puji-pujian, rasa syukur, dan segenap perasaan terima kasih. Thank God sudah dikasih hidup. Walaupun kita tidak mengerti kenapa kita dikasih hidup, tetap Thank God. Lantas berusaha mencari tahu kenapanya. Bukan sebaliknya, menggunakan akal pikiran yang pendek untuk sibuk 'mempertanyakan' otoritas Tuhan. Ini sisi yang amat penting.

Dan dengan selalu melihat cacat pada diri dan amalan, semoga kita selalu tergerak untuk terus memperbaiki banyak hal. Sedih kita, perih hati, malu, dan takut terhadap Allah, semoga menggerakkan sisi kedua yang tidak kalah pentingnya dari penghambaan. Berkeluh-kesahlah pada Allah, mengadu-lah pada Allah. Berserah dirilah pada Allah. Menangis terisak, tidak bosan-bosannya mengirim doa dan pengharapan hanya pada Allah.

Jaga dua sisi ini, maka persis seperti nasehat guru, Ibnu Taimiyah, kita akan terus melewati jalan terbaik dalam kehidupan. Jangan belok karena godaan harta benda yang lantas membuat lalai--apalagi membuat korup dan mencuri; jangan berputar karena tipuan tahta yang kemudian membuat alpa--apalagi sampai membuat maksiat dan nista, jangan terpancing berhenti karena kesenangan sesaat, mubazir nan tidak bermanfaat.

Well, sayangnya kita tidak bisa bertanya lagi ke beliau. Karena sesungguhnya, saat menulis tulisan pendek ini, sy ingin sekali bertanya, "Tetapi guru, jika kami tersandung, terjatuh, bahkan berat langkah kaki melanjutkan perjalanan, lantas apa yang harus kami lakukan?" Entahlah, mungkin beliau hanya akan tersenyum sambil menjawab, "Kembalilah berdiri, lanjutkan perjalanan."

Mungkin.

Oleh Tere Liye

Rabu, 04 Juni 2014

Sandal Putus


"Hendaklah di antara kalian mengadukan segala urusannya hanya kepada Allah saja, walaupun hanya tali sandal yang putus." (HR. Tirmidzi).

Baca hadist ini dari berbagai sisi, maka kesimpulannya sama: mengadukan segala urusan hanya kepada Allah, bahkan untuk perkara kecil sekalipun. Maka, apakah menulis doa2, curhat di media sosial termasuk mengadukan segala urusan hanya kepada Allah? Omong kosong, kalian mengadu kepada semua orang, berdoa ke semua orang.

Tapi kan, tapi kan, semua itu tergantung niat.

Maka ketahuilah, Rasul Allah pernah mengingatkan: riya atau syirik kecil itu persis seperti semut yang merayap. Kalian pernah mendengar suara kaki semut yang merayap? Bahkan kebanyakan orang tidak sadar saat semut sudah naik ke kaki, badannya. Bagaimana mungkin ada orang yang yakin sekali dia murni hendak berdoa/curhat kepada Allah, bukan kepada orang lain saat dia menuliskan hal2 itu di media sosial, dibaca banyak orang? Bagaimana mungkin PD sekali? Ketika kita saja tidak yakin, maka jalan terbaik adalah: hindari. Jangan lakukan. Berhati-hatilah.

Tapi kan, tapi kan, jika mengaminkan banyak nanti doanya makbul.

What? Maksud kalian seperti ini? "Ya Allah, berikanlah hamba mobil dan rumah mewah. Amin. Jika ini doa kalian, maka klik like dan komen Amin." Yang ini? Oh, bukan itu maksudnya?

Nah, jika maksud kalian adalah hadist ini: “Tidak berkumpul sesebuah kaum, sebahagian dari mereka berdoa dan sebahagian yang lain mengaminkan, kecuali Allah akan memustajabkan doa mereka." Silahkan merujuk tentang derajat hadist2, cari sendiri (pastikan yg memakai argumen ini, benar2 sudah tahu derajat hadist ini). Kalaupun ada yang berpendapat hadist ini kelasnya sahih, maka tetap saja dibaca dari berbagai sisi, tidak ada satupun maksud hadist ini: silahkan meratap dan curhat, silahkan berdoa di tempat umum, untuk kemudian orang2 menontonnya, mengaminkan, nanti jadi mustajab deh.

Page saya ini setidaknya menggunakan lima variasi tulisan saat membahas sebuah persoalan. Nah, setelah berkali2 menggunakan variasi 1 hingga 4, tibalah saatnya saya merilis variasi tulisan paling serius, tanpa basa-basi, dengan resiko tinggi pembacanya jadi tersinggung dan marah2.

Berhentilah menulis doa2 di media sosial, curhat di media sosial, apalagi live report sedang beribadah. Itu semua memiliki potensi syirik kecil, tidakkah kalian cemas atau khawatir? Karena Rasul Allah pernah bilang, beliau lebih cemas soal syirik kecil (riya/pamer) ini dibanding fitnah dajjal kelak di akhir jaman. Ribuan tahun lalu, Rasul Allah sudah mengkhawatirkan ini.

Tapi kan, tapi kan, niat saya baik, niat saya baik. Well, sekali kita membantah, bersikeras tidak terima, berusaha menjelaskan (padahal tidak ada yang minta), maka dengan sendirinya itu menunjukkan justeru ada pertentangan bathin di hati kita.

Pikirkanlah.

Oleh Tere Liye