Oleh Novy Eko Permono
Menurut Thomas Lickona, pendidikan karakter adalah pendidikan
untuk “membentuk” kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang
hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan
sebagainya (Bambang Q- Anees dan Adang Hambali, 2008:99).
Hal itu senada dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi, “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.” (Akhmad Muhaimin Azzet, 2013:12).
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasioanal tersebut
karakter penting yang semestinya dibangun adalah agar anak didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh, inilah
hal penting yang semestinya mendapatkan perhatian dalam pendidikan kita. Dengan
demikian kesadaran beriman dan bertakwa kepada Tuhan itu akan menjadi kekuatan
yang bisa melawan apabila anak didik terpengaruh untuk melakukan perbuatan yang
tidak terpuji. Apalagi, hal ini semakin dikuatkan dengan pengembangan karakter
yang selanjutnya, yakni berakhlak mulia. Maka, semakin kukuhlah kepribadian
dari anak didik berkarakter sebagaimana yang diharapkan.
Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang diharapkan,
proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Salah upaya
perbaikan kualitas pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya
pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan ini muncul
karena proses pendidikan selama ini dilakukan belum sepenuhnya berhasil dalam
membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, ada juga yang menyebut
bahwa pendidikan Indonesia telah gagal dalam membangun karakter. Penilaian ini
didasarkan pada banyaknya para lulusan sekolah dan sarjana yang cerdas secara
intelektual, namun tidak bermental tangguh dan berperilaku tidak sesuai dengan
tujuan mulia pendidikan (Akhmad Muhaimin Azzet, 2013:12).
Menurut Ali Ibrahim Akbar, praktik pendidikan di Indonesia
cenderung berorientasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan
teknis), yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ).
Sedangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional
intelligence (EQ) dan spiritual intelligence (SQ) sangat kurang.
Pembelajaran di berbagai sekolah bahkan perguruan tinggi, lebih menekankan pada
perolehan nilai ulangan maupun ujian. Banyak guru yang berpandangan bahwa
peserta didik dikatakan baik kompetensinya apabila nilai hasil ulangan atau
ujiannya tinggi (Jamal Ma’mur Asmani, 2013:22).
Padahal menurut pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan
seeorang di masyarakat. Menurutnya, 80% keberhasilan seseorang di masyarakat
dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20% ditentukan oleh kecerdasan
otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya akan
mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya.
Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia prasekolah, dan
kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya, para remaja
yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh
remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan
lain sebagainya (Jamal Ma’mur Asmani, 2013:45).
Menurut Sugeng Wanto (dalam Waspada, edisi 11 Februari 2007),
akhir-akhir ini permasalahan free seks (seks bebas) di kalangan muda semakin
sudah memprihatinkan terutama pemuda dan remaja yang kurang baik penanaman
keimanan dan ketakwaan mereka. Sebanyak 42,3% pelajar di Cianjur telah
berhubungan seks pranikah (Jamal Ma’mur Asmani, 2013:23-24).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Luh Putu Ikha Widani,
sebagaimana diberitakan dalam laman antaranews.com, kehamilan yang tidak
diinginkan (KTD) pada remaja menunjukkan kecenderungan meningkat, yakni
berkisar 150.000 hingga 20.000 kasus setiap tahunnya (Akhmad Muhaimin Azzet,
2013:11). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Lembaga Studi Cinta
dan Kemanuiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH), dari
hasil penelitian tersebut, untuk kota Yogyakarta dari 1666 responden, sekitar
97,05% remaja di sana telah melakukan seks bebas. Kenyataan tersebut
menunjukkan betapa ironisnya kondisi remaja kita saat ini.
Oleh karena itu, upaya perbaikan harus segera dilakukan. Salah
satunya adalah melalui pendidikan karakter. Upaya ini, selain menjadi bagian
dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama
menyukseskan Indonesia di masa mendatang.
Menyadari akan pentingnya penddidikan karakter itulah,
pemerintah bertekat untuk meluncurkan pendidikan karakter sebagaimana testimony
pada berita Koran Tempo, edisi 29 April 2010 berikut. Menyambut Hari Pendidikan
Nasional, Kementerian Pendidikan Nasional akan meluncurkan program pendidikan
karakter. “Program ini akan diluncurkan oleh Presiden di Istana Negara,” kata
Sekretaris Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Bambang
Indriyanto saat jumpa pers di gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta,
kemarin (Masnur Muslich, 2011:15).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus,
yaitu yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini maka
pendidikan tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara
sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan
menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan (Masnur Muslich, 2011:15).
Menurut D. Yahya Khan dalam bukunya Pendidikan Karakter
Barbasis Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas Pendidikan, pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan
cara berpikir dan perilaku yang membantu individu unttuk hidup dan bekerja sama
sebagai keluarga, masyarakat, dan bangsa (Dita Sukma Perdana, 2013:3)
Dengan kata lain, pendidikan karakter berpijak pada karakter
manusia yang bersumber dari nilai moral uviversal (bersifat absolut) agama,
yang disebut juga sebagai the golden
rule. Pendidikan karakter memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak pada
nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut antara lain cinta kepada Allah SWT, dan ciptaan-Nya
(alam dengan seisinya), tanggung jawab, juju, hormat dan santun, kasih saying,
peduli dan kerja sama, percaya diri,kreatif, kerja keras dan pantang menyerah,
keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, serta
persatuan (Jamal Ma’mur Asmani, 2013:33).
Karakter
yang baik sangat perlu dimiliki oleh setiap generasi muda, terlebih pembangunan
bangsa ini sangat dipengaruhi oleh keadaan generasi mudanya. Pembangunan akan
dapat berlangsung dengan baik apabila bangsa tersebut memiliki karakter yang
baik. Kegagalan pembangunan bangsa bisa terjadi karena kemerosotan moral dan
karakter yang tidak baik yang dimiliki oleh generasi mudanya. Bila ditelusuri
salah satu dari sekian sebab kemerosotan tersebut adalah karena generasi
mudanya tidak memiliki karakter yang baik.
Berbicara
tentang pendidikan karakter pada dasarnya ada beberapa kitab klasik yang
berasal dari Islam yang membahas tentang pendidikan karakter yang dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk
membentuk karakter seorang muslim. Meskipun begitu, yang sering digunakan pada
saat ini adalah sumber-sumber buku yang berasal dari barat di mana nilai
pendidikan Islamnya masih kurang. Salah satu kitab yang berasal dari Islam
adalah kitab klasik yang ditulis oleh Syaikh Az-Zarnuji dengan judul Ta’lim
Al-Muta’allim. Kitab ini
diakui sebagai karya yang monumental dan sangat diperhitungkan keberadaannya.
Syaikh Az-Zarnuji
menulis buku ini karena dia melihat bahwa para santri sebenarnya telah
bersungguh-sungguh dala mencari ilmu, tapi banyak dari mereka yang tidak
memperoleh manfaat dari ilmunya, yakni berupa pengamalan ilmu tersebut dan
menyebarkannya. Hal itu terjadi karena cara mereka menuntut ilmu yang
salah dan syarat-syaratnya mereka
tinggalkan. Karena barangsiapa salah jalan, tentunya tersesat. Tidak akan
sampai tujuan. Oleh karenanya, melalui kitab tersebut Syaikh Az-Zarnuji ingin
menjelaskan kepada para santri dengan benar berdasarkan kitab-kitab yang pernah
beliau baca dan beliau dengar dari guru-guru beliau (Az-Zarnuji, 1995:2).
Kitab Ta’lim
Muta’allim karya Syikh Az-Zarnuji, berisi tiga belas konsep pendidikan
dalam Islam (Az-Zarnuji, 1995:3), yaitu:
1. Hakikat
ilmu, hukum mencari ilmu, dan keutamaannya
2. Niat dalam
mencari ilmu
3. Cara
memilih ilmu, guru, teman, dan ketekunan
4. Cara
menghormati ilmu dan guru
5. Kesungguhan
dalam mencari ilmu, beristiqamah dan cita-cita yang luhur
6. Ukuran dan
urutannya
7. Tawakal
8. Waktu
belajar ilmu
9. Saling
mengasihi dan saling menasihati
10. Mencari
tambahan ilmu pengetahuan
11. Bersikap wara’
ketika menuntut ilmu
12. Hal-hal
yang dapat menguatkan hafalan dan yang melemahkannya
13. Hal-hal
yang mempermudah datangnya rezeki, hal-hal yang menghambat datangnya rezeki,
dan hal-hal yang dapat memperpanjang dan mengurangi umur
Berdasarkan
isi buku tersebut, sangat penting untuk dijadikan pegangan bagi para murid dalam
mencari ilmu. Terlebih lagi, remaja kita sedang dilanda kemerosotan karakter, dengan
semakin maraknya perilaku menyimpang,
seperti bolos sekolah, tawuran, dam kasus sontek massal yang baru-baru ini
terkuak di media massa.