Peterpan - Semua Tentang Kita by Umar At-Tipari

Selasa, 30 September 2014

Tantangan Umat Beragama Pada Abad Modern

                                                       Oleh: Nur Cholish Madjid
                                                       (Dengan editing seperlunya)
 
Agama merupakan suatu cara manusia menemukan makna hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya. Tapi, hidup kita lingkungan abad modern ini, untuk kebanyakan orang, termasuk para pemeluk agama sendiri, semakin sulit diterangkan  maknanya. Kesulitan itu terutama ditimbulkan oleh masalah-masalah yang muncul akibat dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, ciri utama abad modern yang secara tak terbendung mengubah bentuk dan jaringan masyarakat secara lembaga-lembaganya. Pada abad modern, nilai berganti dengan cepat, demikian pula cara hidup, dan memisahkan manusia semakin jauh dari kepastian moral dan etis tradisional mereka. Inilah tantangan yang dihadapi agama-agama.
Untuk sampai pada segi operasional agama dalam tindakan nyata manusia, yang menjadi tekanan dalam pembicaraan ini, kita harus mempertimbangkan aspek “dramatis” kehidupan manusia, yang meliputi aspek keagamaan itu sendiri, kekuasaan, kekeluargaan, dan kekayaan. Dalam konteks-konteks inilah, seseorang mendefinisikan dirinnya dalam hubungannya dengan orang lain, lalu menerima atau menolak nilai kewenangan, dan menentukan pilihan akan apa yang hendak dilakukan atau tidak, untuk memberi makna kepada hidup ini.  

Tanggung Jawab Pribadi
Perubahan mendalam yang dihadapi umat manusia dalam memasuki abad ke-21 ini, dari satu segi, merupakan kelanjutan seluruh proses modernisasi dunia. Proses itu, yang berlangsung berkaitan dengan konteks dramatis kehidupan manusia tadi, melibatkan pandangan perseorangan yang relatif otonom, dengan kemampuan besar untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan situasi baru dan inovasi. Pribadi seperti itu mempunyai tingkat kesadaran yang relatif tinggi, dan menuntut struktur kekeluargaan, yang di dalamnya kebebasan dan harkat pribadinya akan diakui, dan di dalamnya ia dapat menemukan keterkaitan dengan orang lain, tidak dalam rangka kewenangan  dan ketaatan semata, tetapi dalam rangka perkawanan dan partisipasi hangat. Pribadi serupa itu juga menuntut suatu masyarakat yang ada di dalamnya ia merasa bisa berpartisipasi penuh, yang tujuan-tujuan masyarakat itu dapat ia dukung, dan dapat menyumbang untuk mencapainya. Dan akhirnya pribadi itu memerlukan suatu pandangan dunia (weltanschauung) yang terbuka untuk masa depan.
Melihat berbagai bentuk kehidupan kegamaan yang kita kenal sekarang, barangkali dibenarkan membuat generalisasi, bahwa semua agama mengajarkan tanggung jawab. Agama Islam, misalnya mengajarkan dengan sangat kuat tanggung jawab pribadi di hadapan Pengadilan Tuhan di Hari Kemudian. Selanjutnya, tanggung jawab pribadi itu, membawa akibat adanya tanggung jawab sosial, karena setiap perbuatan pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan adalah sekaligus, dan tidak bisa tidak, perbuatan yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan sesama manusia. Dengan menggunakan istilah kegamaan Islam yang lebih khusus, iman yang pribadi itu membawa akibat adanya amal saleh yang memasyarakat. Sebab, kebenaran bukanlah semata-mata persoalan kognitif; kebenaran harus mewujudkan diri dalam tindakan. Dari sini memancar berbagai implikasi keagamaan dan kemasyarakatan yang harus diperankan oleh agama dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan mereka pada abad modern ini.

Kerja Sama Kemanusiaan    
Disebabkan tanggung jawab itu, yang harus dilakukan dengan senantiasa berpijak pada prinsip persamaan, mansuia diseru untuk senantiasa menggalang kerjasama atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan. Untuk itu, manusia didorong agar senantiasa mencari titik-titik persamaan sebanyak mungkin antara berbagai komunitasnya. Dan sepanjang mengenai Islam, titik persamaan yang terpenting ialah kesadaran ketuhanan dan rasa tanggung jawab di hadapan Tuhan.
Kerjasama kemanusiaan, pada gilirannya, dan sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menghendaki kebebasan suatu kelompok dari klaim kebenaran mutlak. Setiap komunitas senantiasa mempunyai potensi untuk memiliki suatu jenis kebenaran, karena “tidak satupun komunitas manusia telah lewat dalam sejarah, kecuali pasti pernah datnag kepadanya pengajar kebenaran”. Jadi tidak ada hak istimewa yang eksklusif dari suatu komunitas untuk memiliki secara sendirian kebenaran itu. Tuhan adalah tunggal, kebenaran pun tunggal, dan kemanusiaan juga tunggal adanya. Itu semua secara tak terhindarkan mengharuskan adanya kerja sama antar manusia “atas dasar kebaikan dan tanggung jawab kepada Tuhan, dan bukan atas dosa dan rasa permusuhan”. Itulah inti pandangan hidup yang terbuka bagi masa depan, salah satu yang diperlukan manusia dalam menghadapi tantangan abad modern.
Tidak seluruh persoalan hidup manusia bisa dipahami manusia. Seperti halnya dengan jagat raya, peri hidup manusia adalah pagelaran ilmu, kodrat, dan iradat Tuhan. Sekarang, ilmu Tuhan itu tak mungkin terjangkau manusia, kecuali sedikit yang dikehendaki Tuhan sendiri. Bahkan, seandainya seluruh lautan menjadi tinta, untuk menuliskan ilmu Tuhan, lautan itu akan habis sebelum ilmu Tuhan habis, malah sekalipun masih ditambah dengan lautan seluas itu lagi.
Seperti yang kita tahu manusia tidak mungkin mengetahui diri dan hakikat Tuhan, namun Tuhan dapat didekati melalui ibadah yang tulus kepada-Nya dan kegiatan kemanusiaan, serta diinsafi secara mendalam akan kehadiran-Nya. Tuhan juga memerintahkan manusia untuk bergiat memahami alam, sebatas yang mungkin. Karena itu, manusia harus aktif berilmu dan beramal, dalam rangka kekhalifahan (menjadi wali pengganti Tuhan di bumi). Dengan pengetahuan akan hidupnya sendiri dan lingkungannya yang terus berkembang, daerah msiteri akan menciut, mekipun tak mungkin habis (sebab, habisnya misteri akan sama artinya dengan terketahuinya dan terkauasainya Tuhan).
Jadi, sebagaimana ilmu dan teknologi, yang menjadi inti kemodern harus bersedia dihadapkan kepada ujian pertimbangan moral dan etis, karena harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Agama pun jika ingin bertahan, dalam batas-batas tertentun harus bersedia dihadapkan pada pengujian oleh ilmu pengetahuan. Agam ialah suprarasional. Namun, sesuatu yang suprarasional tidak berarti dibenarkan “bertentangan” dengan rasio, tapi ia hanya berada pada tingkat yang lebih tinggi (analog tentang itu ialah bahwa rasio adalah supraindra, tetapi yang rasional tidak berarti bertentangan dengan yang indrawi, hanya lebih tinggi tingkatnya).