Peterpan - Semua Tentang Kita by Umar At-Tipari

Jumat, 14 Maret 2014

Pendidikan Karakter (Sebuah Pengantar)


Oleh Novy Eko Permono
Menurut Thomas Lickona, pendidikan karakter adalah pendidikan untuk “membentuk” kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Bambang Q- Anees dan Adang Hambali, 2008:99).
Hal itu senada dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (Akhmad Muhaimin Azzet, 2013:12).
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasioanal tersebut karakter penting yang semestinya dibangun adalah agar anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh, inilah hal penting yang semestinya mendapatkan perhatian dalam pendidikan kita. Dengan demikian kesadaran beriman dan bertakwa kepada Tuhan itu akan menjadi kekuatan yang bisa melawan apabila anak didik terpengaruh untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Apalagi, hal ini semakin dikuatkan dengan pengembangan karakter yang selanjutnya, yakni berakhlak mulia. Maka, semakin kukuhlah kepribadian dari anak didik berkarakter sebagaimana yang diharapkan.
Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang diharapkan, proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Salah upaya perbaikan kualitas pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan ini muncul karena proses pendidikan selama ini dilakukan belum sepenuhnya berhasil dalam membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, ada juga yang menyebut bahwa pendidikan Indonesia telah gagal dalam membangun karakter. Penilaian ini didasarkan pada banyaknya para lulusan sekolah dan sarjana yang cerdas secara intelektual, namun tidak bermental tangguh dan berperilaku tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan (Akhmad Muhaimin Azzet, 2013:12).
Menurut Ali Ibrahim Akbar, praktik pendidikan di Indonesia cenderung berorientasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis), yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ). Sedangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ) dan spiritual intelligence (SQ) sangat kurang. Pembelajaran di berbagai sekolah bahkan perguruan tinggi, lebih menekankan pada perolehan nilai ulangan maupun ujian. Banyak guru yang berpandangan bahwa peserta didik dikatakan baik kompetensinya apabila nilai hasil ulangan atau ujiannya tinggi (Jamal Ma’mur Asmani, 2013:22).
Padahal menurut  pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seeorang di masyarakat. Menurutnya, 80% keberhasilan seseorang di masyarakat dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20% ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia prasekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya, para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan lain sebagainya (Jamal Ma’mur Asmani, 2013:45).
Menurut Sugeng Wanto (dalam Waspada, edisi 11 Februari 2007), akhir-akhir ini permasalahan free seks (seks bebas) di kalangan muda semakin sudah memprihatinkan terutama pemuda dan remaja yang kurang baik penanaman keimanan dan ketakwaan mereka. Sebanyak 42,3% pelajar di Cianjur telah berhubungan seks pranikah (Jamal Ma’mur Asmani, 2013:23-24).
Hal serupa juga diungkapkan oleh Luh Putu Ikha Widani, sebagaimana diberitakan dalam laman antaranews.com, kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) pada remaja menunjukkan kecenderungan meningkat, yakni berkisar 150.000 hingga 20.000 kasus setiap tahunnya (Akhmad Muhaimin Azzet, 2013:11). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Lembaga Studi Cinta dan Kemanuiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH), dari hasil penelitian tersebut, untuk kota Yogyakarta dari 1666 responden, sekitar 97,05% remaja di sana telah melakukan seks bebas. Kenyataan tersebut menunjukkan betapa ironisnya kondisi remaja kita saat ini.
Oleh karena itu, upaya perbaikan harus segera dilakukan. Salah satunya adalah melalui pendidikan karakter. Upaya ini, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, juga  diharapkan mampu menjadi fondasi utama menyukseskan Indonesia di masa mendatang.
Menyadari akan pentingnya penddidikan karakter itulah, pemerintah bertekat untuk meluncurkan pendidikan karakter sebagaimana testimony pada berita Koran Tempo, edisi 29 April 2010 berikut. Menyambut Hari Pendidikan Nasional, Kementerian Pendidikan Nasional akan meluncurkan program pendidikan karakter. “Program ini akan diluncurkan oleh Presiden di Istana Negara,” kata Sekretaris Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Bambang Indriyanto saat jumpa pers di gedung Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, kemarin (Masnur Muslich, 2011:15).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini maka pendidikan tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan (Masnur Muslich, 2011:15).
Menurut D. Yahya Khan dalam bukunya Pendidikan Karakter Barbasis Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas Pendidikan,  pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu unttuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bangsa (Dita Sukma Perdana, 2013:3)
Dengan kata lain, pendidikan karakter berpijak pada karakter manusia yang bersumber dari nilai moral uviversal (bersifat absolut) agama, yang disebut juga  sebagai the golden rule. Pendidikan karakter memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak pada nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut antara lain cinta kepada Allah SWT, dan ciptaan-Nya (alam dengan seisinya), tanggung jawab, juju, hormat dan santun, kasih saying, peduli dan kerja sama, percaya diri,kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, serta persatuan (Jamal Ma’mur Asmani, 2013:33).
Karakter yang baik sangat perlu dimiliki oleh setiap generasi muda, terlebih pembangunan bangsa ini sangat dipengaruhi oleh keadaan generasi mudanya. Pembangunan akan dapat berlangsung dengan baik apabila bangsa tersebut memiliki karakter yang baik. Kegagalan pembangunan bangsa bisa terjadi karena kemerosotan moral dan karakter yang tidak baik yang dimiliki oleh generasi mudanya. Bila ditelusuri salah satu dari sekian sebab kemerosotan tersebut adalah karena generasi mudanya tidak memiliki karakter yang baik.
Berbicara tentang pendidikan karakter pada dasarnya ada beberapa kitab klasik yang berasal dari Islam yang membahas tentang pendidikan karakter  yang dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk membentuk karakter seorang muslim. Meskipun begitu, yang sering digunakan pada saat ini adalah sumber-sumber buku yang berasal dari barat di mana nilai pendidikan Islamnya masih kurang. Salah satu kitab yang berasal dari Islam adalah kitab klasik yang ditulis oleh Syaikh Az-Zarnuji dengan judul Ta’lim Al-Muta’allim. Kitab ini diakui sebagai karya yang monumental dan sangat diperhitungkan keberadaannya.
Syaikh Az-Zarnuji menulis buku ini karena dia melihat bahwa para santri sebenarnya telah bersungguh-sungguh dala mencari ilmu, tapi banyak dari mereka yang tidak memperoleh manfaat dari ilmunya, yakni berupa pengamalan ilmu tersebut dan menyebarkannya. Hal itu terjadi karena cara mereka menuntut ilmu yang salah  dan syarat-syaratnya mereka tinggalkan. Karena barangsiapa salah jalan, tentunya tersesat. Tidak akan sampai tujuan. Oleh karenanya, melalui kitab tersebut Syaikh Az-Zarnuji ingin menjelaskan kepada para santri dengan benar berdasarkan kitab-kitab yang pernah beliau baca dan beliau dengar dari guru-guru beliau (Az-Zarnuji, 1995:2).
Kitab Ta’lim Muta’allim karya Syikh Az-Zarnuji, berisi tiga belas konsep pendidikan dalam Islam (Az-Zarnuji, 1995:3), yaitu:
1.      Hakikat ilmu, hukum mencari ilmu, dan keutamaannya
2.      Niat dalam mencari ilmu
3.      Cara memilih ilmu, guru, teman, dan ketekunan
4.      Cara menghormati ilmu dan guru
5.      Kesungguhan dalam mencari ilmu, beristiqamah dan cita-cita yang luhur
6.      Ukuran dan urutannya
7.      Tawakal
8.      Waktu belajar ilmu
9.      Saling mengasihi dan saling menasihati
10.  Mencari tambahan ilmu pengetahuan
11.  Bersikap wara’ ketika menuntut ilmu
12.  Hal-hal yang dapat menguatkan hafalan dan yang melemahkannya
13.  Hal-hal yang mempermudah datangnya rezeki, hal-hal yang menghambat datangnya rezeki, dan hal-hal yang dapat memperpanjang dan mengurangi umur
Berdasarkan isi buku tersebut, sangat penting untuk dijadikan pegangan bagi para murid dalam mencari ilmu. Terlebih lagi, remaja kita sedang dilanda kemerosotan karakter, dengan semakin maraknya perilaku  menyimpang, seperti bolos sekolah, tawuran, dam kasus sontek massal yang baru-baru ini terkuak di media massa.

Senin, 03 Maret 2014

Cinta yang tak tergapai



Kalau kita tidak bisa memperoleh apa yang kita cintai, maka my dear, cintailah apa yang kita miliki sekarang.

Karena cinta sejati, bukan sekadar angan, keinginan, mimpi. Tapi dalam banyak situasi cinta sejati adalah rasa syukur dalam keseharian. Dan ini berlaku dalam banyak hal. Ketika kita tidak bisa memperoleh sekolah/kampus yang kita cintai, kita inginkan, maka cintailah sekolah/kampus kita sekarang, boleh jadi ada rahasia besar di dalamnya. Jangan dibanding2kan, jangan merasa minder. Pun saat kita tidak bisa menggapai jenis pekerjaan yang kita cintai, idamkan, maka cintailah pekerjaan kita sekarang. Terus bekerja dengan sungguh2, tidak banyak mengeluh, tidak malas2an, apalagi penuh perhitungan adalah bentuk kongkret dari cinta sejati, kebersyukuran.

Sungguh tidak akan mengerti hakikat terdalamnya cinta, orang2 yang selalu saja mendefinisikan cinta itu adalah sesuatu yang harus dikejar, dimiliki. Karena boleh jadi, ketika sibuk mengejarnya, dia akan kehilangan kesempatan bahwa di sekitarnya berserakan miliknya.

Kita menyukai seseorang misalnya? Siang malam terbebani oleh perasaan tersebut, lantas apa yang harus dilakukan? Kalau kita pejuang tangguh, silahkan berangkat mengejar seseorang tersebut, taklukkan, miliki. Jadilah pangeran gagah perkasa. Tapi saat semua sudah digapai, lantas kenapa? So what? Apakah kemudian seperti di film2, akan muncul tulisan besar "the end"? Selesai. Penonton pulang, film berakhir bahagia.

Nyatanya tidak, di dunia nyata, perjalanan masih terus berlanjut, dan boleh jadi, ternyata semua tidak seseru yang kita harapkan. Ketahuilah, pernikahan paling bahagia antara dua kekasih hati bahkan tidak selesai saat mereka menikah. Film kehidupan itu justeru baru berubah menjadi sungguhan drama, thriller, aksi, atau horor saat telah menikah. Masalah datang silih berganti. Pertengkaran meletus. Dan dalam titik paling ekstrem, kehilangan cinta yang dulu sungguh tinggi menyala.

Maka my dear anggota page, kalau kita tidak bisa memperoleh apa yang kita cintai, selalu cintailah apa yang kita miliki sekarang. Keluarga kita sekarang, teman2 kita sekarang, pekerjaan kita sekarang, sekolah/kampus kita sekarang. Maka semuanya sungguh akan menjadi cinta sejati kita.

By Tere Liye