Gegap gempitanya dunia maya hari ini, diikuti dengan mudahnya akses
internet bagi siapapun, sepertinya tidak melulu membawa kemaslahatan.
Secara simultan, sama seperti saat hadirnya televisi pertama kali,
budaya baru ini juga membawa dampak negatif. Kita harus mulai mencermati
penyakit sosial atas munculnya interaksi baru di dunia maya.
Setidaknya ada enam penyakit sosial
tersebut, yang pertama, berkurangnya kualitas dan kuantitas membaca
(apalagi menulis). Kita hampir tiap hari menyaksikan orang-orang
–termasuk kita sendiri-- yang sibuk mematut layar komputer atau laptop,
menatap layar telepon genggam, asyik bercengkerama dengan piranti
canggih miliknya, di jalan-jalan, di kendaraan, di tempat kerja, di
sekolah, sudah lazim pemandangan ini. Semua orang bisa dikatakan
memiliki akun email, plus dengan jejaring sosial favoritnya.
Menghabiskan waktu berjam-jam dan berkali-kali rajin memeriksa beranda
dunia mayanya. Lantas apa sebenarnya yang sedang mereka lakukan?
Membaca? Menulis? Berbeda dengan televisi, dunia maya memang memberikan
kesempatan membaca dan menulis. Tapi apakah itu sungguh-sungguh membaca
dan menulis?
Kita kadang merasa sudah banyak membaca, juga
menulis, tapi sejatinya itu sekadar dunia percakapan yang mengambil
bentuk tulisan. Membaca ‘celoteh’, membaca ‘ucapan’. Menulis ‘celoteh’,
menulis ‘ucapan’. Memang banyak yang membaca laman berita media massa,
loncat kesana-kemari memeriksa judul yang menarik, tapi dengan gaya
penulisan dunia maya yang serba ringkas, kebiasaan pengguna yang membaca
tidak tuntas, umumnya kualitas dan kuantitas membaca berkurang
drastis, apalagi menulis. Kita terperangkap ilusi sudah membaca dan
menulis—dengan kenyataan, buku-buku semakin disingkirkan.
Penyakit sosial kedua adalah suburnya kebiasaan berdebat tiada manfaat.
Dunia maya memang tiba-tiba memberikan derajat yang sama kepada
penggunanya, egaliter menemukan definisi terbaiknya. Tidak peduli
presiden, ataupun orang biasa. Tidak peduli profesor maupun tidak
sekolah, semua tiba-tiba menjadi setara di dunia maya. Kolom komen di
jejaring sosial, laman berita media massa, forum, memberikan kesempatan
kepada siapapun untuk berkomentar. Dan situasi ini semakin rumit,
mengingat pemilik laman, pengelola sebuah akun, menyadari bahwa semakin
‘menarik’ sebuah topik, akan mengundang semakin banyak pengunjung.
Hampir di semua sudut dunia maya, kita harus menonton perdebatan tiada
manfaat. Komentar saling menjelekkan, memaki, menghina, ringan sekali
ditulis oleh pengguna dunia maya. Tidak ada topik yang kebal atas
situasi ini, pertandingan sepakbola, hingga agama pun menjadi santapan.
Kita tiba-tiba merasa penting untuk berpendapat—terlepas dari kualitas
pendapat tersebut.
Hal-hal yang sudah tahu sama tahu tetap
diperdebatkan. Sesuatu yang sudah jelas, baik, tetap diperdebatkan.
Apalagi yang memang kontroversial dan berpotensi beda pendapat. Kita
tidak lagi merayakan beda pendapat dengan menghormati satu sama lain,
melainkan merayakan perbedaan dengan meneriakkan nyaring pendapatnya.
Semakin maraknya mental gratisan adalah penyakit sosial ketiga. Di
dunia maya, semua seolah-olah gratis. Apa sih yang tidak bisa diperoleh
dari internet? Pengguna internet mengunduh film-film laris, yang bahkan
belum beredar di jaringan bioskop lokal. Orang-orang berbagi file lagu
yang tentu saja full gratis, e-book ilegal ada di mana-mana, hingga
mencomot sana-sini hasil jerih payah pemikiran dan proses kreatif orang
lain. Jika kita terbiasa dengan gaya bahasa forum berbagi file, maka
istilah ‘leechers’ atau ‘lintah’ lazim digunakan untuk merujuk ke
pengguna yang menyedot puluhan bahkan ratusan bahkan ribuan file
‘gratis’. Mental gratisan ini merusak banyak sistem, menerabas hukum,
dan pada tingkat lebih rendah, merusak masyarakat itu sendiri. Jika kita
hanya memikirkan memperoleh sesuatu secara gratis, maka proses memberi,
proses berkarya, perlahan akan padam dengan sendirinya. Dan situasi ini
akan terbawa langsung ke dunia nyata.
Penyakit sosial yang
keempat adalah rendahnya sopan santun di dunia maya. Penggunaan akun
dunia maya seperti menjadi tameng, benteng pelindung, yang membuat
orang-orang nyaman melakukan apapun. Bahkan dalam situasi menggunakan
identitas asli pun, banyak pengguna internet yang merasa lebih nyaman
(mungkin bisa ditulis berani). Apalagi saat menggunakan identitas palsu,
pengguna internet bisa melakukan apapun tanpa perlu khawatir bertatap
muka langsung seperti di dunia nyata. Pepatah lempar batu sembunyi
tangan menemukan definisi terbaiknya dalam dunia maya. Berkurangnya
sopan santun ini tercermin mulai dari komunikasi lewat email, message,
hingga interaksi bebas di jejaring sosial, forum, laman lainnya. Kita
tidak lagi perlu merasa memiliki sopan santun saat bertamu ke beranda
milik orang lain, merasa semua tempat adalah wilayah publik, bebas mau
melakukan apapun.
Penyakit sosial kelima adalah mulai kaburnya
interaksi dunia nyata. Bukankah sudah lazim sekali terlihat, saat
beberapa teman dekat berkumpul di restoran, mereka memang dekat secara
fisik, tapi satu sama lain justeru sibuk memeriksa piranti canggih
masing-masing. Saat satu keluarga berkumpul di ruang keluarga, secara
fisik dekat satu sama lain, tapi masing-masing justeru asyik berselancar
di dunia maya, lebih dekat dengan orang-orang yang tidak dikenal dan
jauh. Kita lebih banyak menghabiskan waktu bersama gagdet dibanding
dengan keluarga atau teman sendiri. Interaksi dunia nyata perlahan
menjadi kabur, digantikan oleh interaksi berdasarkan internet.
Penyakit sosial keenam adalah berkurangnya waktu produktif. Jika kita
asumsikan pengguna aktif internet di Indonesia adalah 40 juta orang,
rata-rata mengunjungi jejaring sosial dan sejenisnya satu jam setiap
hari, maka kita sebenarnya punya 40 juta jam dalam sehari untuk
melakukan hal lain secara produktif. Jika candi Borobudur katakanlah
membutuhkan 20 tahun, 2.000 pekerja yang bekerja 8 jam setiap hari, maka
total jam kerja untuk menyelesaikan satu candi Borobudur adalah 119
juta jam kerja. Bangsa ini bisa menyelesaikan satu candi setiap tiga
hari. Ini hanya ilustrasi, boleh jadi berlebihan, toh ketika televisi
hadir di tengah masyarakat, situasinya juga sama—bahkan lebih massif,
tapi setidaknya dapat menjelaskan permasalahannya. Berbeda dengan
televisi, pengguna internet kebanyakan adalah orang-orang berpendidikan,
pekerja dan di usia yang sangat produktif.
Kita tidak bisa
mencegah gelombang internet, kita sudah berada di dalamnya sepuluh tahun
terakhir. Dengan harga gagdet yang semakin murah, tersedianya pilihan
akses murah-meriah, maka penetrasi budaya ini akan semakin dalam ke
seluruh masyarakat. Keenam penyakit sosial ini menjadi realita yang
harus disadari. Dan ketika proses mendidik pengguna internet berjalan
lambat, kesadaran berinternet sehat masih rendah, tanggung-jawab besar
jatuh pada pemilik laman raksasa dengan pengunjung ribuaan bahkan
jutaan. Website berita milik media massa, website forum-forum, hingga
akun jejaring sosial yang diikuti oleh banyak orang adalah ujung tombak
mengurangi dampak buruk dari internet, terlebih pengaruhnya kepada
pengguna remaja. Dalam contoh yang paling bersahaja, sudah seharusnya
kampanye internet sehat diletakkan di halaman muka website tersebut,
entah berupa link, banner, gambar dan sejenisnya. Seharusnya itu mudah
sekali dilakukan.
#Repost Tere Liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar