(diadaptasi dari majalah Hadila edisi 7 Mei 2013, oleh Metty
Setyowati, S. Pd, staf pengajar SMP PGRI 5, Sukodono, Sragen, Jawa Tengah)
Pendidikan
masih diyakini sebagai salah satu elemen penting mengentaskan bangsa ini dari
segala ketertinggalan. Pasalnya, hanya melalui pendidikanlah (terutama yang
formal) proses membentuk generasi yang berilmu-berakhlak bisa terwujud. Oleh
karena itu, menjadi hal yang wajar jika dunia pendidikan berikut ruang
lingkupnya selalu berubah bentuk
mengikuti tuntutan perubahan. Cita-cita untuk melahirkan generasi muda yang
berpendidikan diharapkan akan senantiasa selaras dengan tuntutan zaman.
Sayangnya,
untuk mewujudkan generasi yang berkualitas secara keilmuan dan akhlak, bukanlah
perkara yang mudah. Inovasi sistem, metode atau apa pun bentuknya yang
bertujuan mencetak generasi yang berkualitas tak selamanya berjalan mulus. Ada
titik lubang disana sisni yang kurang luwes dan adaptif. Akibatnya, institusi
pendidikan belum optimal dalam melahirkan output yang berkualitas
Contohnya
nyata dalam kehidupan sekitar kita adalah masih banyaknya kasus yang mengemuka
berupa penyimpangan moral para guru atau pendidik, baik dalam bentuk kekerasan
seksual maupun fisik. Ini jelas sebuah tantangan yang perlu ditaklukkan dan
ditemukan solusinya.
Belum lagi,
wajah moral para siswa yang masih compang-camping oleh ketidakberdayaan mereka
menguasai dirinya sendiri. Mulai dari aksi tawuran hingga lilitan arus
kehidupan pergaulan yang bebas. Semua adalah variabel rumit yang akan terus
hadir disetiap waktu.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Bertalian
dengan hal di atas, tampaknya kita perlu menemukan ragam solusi dari proses
pendalaman tiap masalah. Salah satunya ialah kembali mencermati ulang warisan
pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Bukan semata
dalam rangka menghormati jasanya, namun lebih menemukan benang merah atau relevansi
pemikirannya ke konteks persoalan
pendidikan kekinian. Salah satu filosofi pendidikan beliau ialah
bagaimana menjadikan budi pekerti dan pikiran sebagai satu kesatuan utuh
sehingga pendidikan yang terselenggara bisa menjunjug martabat diri dan bangsa.
Dalam
menyelenggarakan pengajaran dan pendidikan yang terhimpunan dan konsep Among
(Tutwuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarso Sung Tulodho),
haruslah tetap memperhatikan ilmu jiwa, jasmani, moral, estetika dan menerapkan
metodologi yang membangun karakter. Di sinilah titik relevansi, mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan pendidikan yang membentuk karakter kemanusiaan yang
cerdas dan beradab. Oleh karena itu, taka ada salahnya kalau kita kembali
mereaktualisasi konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara demi sebuah tatanan
pendidikan yang lebih baik bagi bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar